Saturday, June 21, 2008

Sastra Sufi

MENCARI “KELAMIN” SASTRA SUFI

OLEH: Zamzam Afandi Abdillah


Abstraksi.

Tasawuf memang selalu mendapat tempat tersendiri di hati umat Islam khususnya, dan juga para pengamat atau peneliti pada umumnya. Berbagai dimensi yang terkait dengan aktifitas ini belakangan mendapat perhatian yang cukup luas di negeri kita. Tak terkecuali sastra yang terlahir dari para pelaku tasawuf (sufi) juga menjadi perbincangan yang cukup ramai diminati para budayawan dan sastrawan. Tulisan ini berupaya mencari dan menelusuri jejak sastra sufi sehingga dapat menemukan gambaran yang lebih jelas dan obyektif.
Sastra sufi adalah salah satu genre sastra arab (Islam) yang pernah meramaikan jagad perpuisian arab . Sastra sufi berbeda dengan sastra religius, sastra zuhud apalagi dengan genre-genre lain yang sering disalah pahami sebagai sastra sufi semisal puisi al-ghazl yang juga berbicara soal cinta. Salah satu kriteria sastra sufi adalah wataknya yang membiarkan pendengar dan pembacanya harus bekerja keras berupaya memahaminya, sebab ia sering diekspresikan dalam bentuk yang absurd, ambiguiti dan penuh simbolis.

A. PENDAHULUAN

Sastra sufi belakangan ini banyak menyita perhatian komunitas peminat sastra. Perdebatan yang terjadi tidak saja berkutat pada persoalan materinya atau menggugat eksistensi sastra sufi itu sendiri, tetapi juga munculnya pertanyaan apakah ada bedanya genre sastra ini dengan genre sastra (arab khususnya) lain, bahkan juga merambah pada wilayah metodologi yang mempertanyakan kemungkinan kajian khusus yang secara sepesifik mengurai dan memintal kembali genre sastra tersebut. Sehingga sastra sufi bukan sekedar sebuah klaim, tetapi memang benar-benar dapat dijelaskan secara metodologis. Tulisana singkat ini berupaya membuka jalan kearah sana meskipun secara metodologi juga masih bersifat pencarian awal.






B. PENGERTIAN TASAWUF

Ada banyak ragam definisi tasawuf yang dikemukakan oleh para ahli tergantung dari mana mereka melihatnya. Ada yang melihat tasawuf dari aspek teologis, ada yang melihat dari aspek praktis, dan ada pula yang melihat taswuf dari aspek filosofisnya. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, penulis lebih cenderung mengikuti definisi tasawuf yang dirumuskan oleh Abdul Karim al-Khatib
[i] :
“tasawuf adalah bukan semata merupakan keyakinan keagamaan tetapi merupakan sistem kehidupan dan tatanan seutuhnya bagi wujud manusia, disamping ia juga merupakan metode berfikir”.

Definisi di atas memiliki pengertian sangat luas yang mencakup seluruh aspek kehidupan sufi. Baik yang berkenaan dengan tatacara kehidupannya dimana dalam hal ini adalah kehidupa ritual maupun kehidupan sosiologisnya, juga kehidupan intelektualnya baik yang terkait cara pandang mereka maupun konsep-konsepnya, terutama yang berkaitan dengan masalah keberagamaan.

C. LATAR BELAKANG MUNCULNYA TASAWUF
Teori sosial mengatakan bahwa masyarakat adalah merupakan sebuah sistem. Karenaya, ia merupakan entitas yang tidak dapat dipahami hanya dari dinamika hubungan organik bagian-bagian dalam dimensi ruangnya saja, tetapi juga harus dipahami dari dinamikanya dalam waktu, yaitu dinamika pertumbuhan, perkembangan dan perubahannya dalam sejarah.
Demikian pula dengan para sufi yang merupakan sebuah entitas komunitas yang memiliki sistem kehidupannya sendiri, kemunculan mereka tidak terlepas dari hukum kausalitas yang bergulir dan menyelimuti ruang dan waktu dimana mereka berada di dalamnya.
Tasawuf mula-mula muncul sebagai oposisi keagamaan terhadap pemerintah yang berkuasa yang dipandang kurang “religius”. Wujud oposisi keagamaan yang paling terkenal ialah yang dilakukan oleh seorang tokoh yang amat saleh, yaitu Hasan al-Bashri (w. 728 M) terhadap pemerintahan Umayyah, khususnya pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (685-705 M). Hasan pernah menulis surat kepada khalifah ini, menurutnya agar rakyat diberi kebebasan untuk melakukan apa saja yang mereka anggap baik, sehingga dengan begitu ada tempat bagi tanggungjawab moral.
[ii]
Faktor lain pemicu lahirnya tasawuf dikalangan uamt Islam ialah reaksi atas sikap formalisme dari golongan ahli hukum (fuqahâ’). Sebagaimana diketahui, di bawah pimpinan para khalifah, daerah kekuasaan politik Islam dengan amat cepat meluas sehingga meliputi hampir seluruh bagian dunia yang saat itu merupakan pusat peradaban manusia, khususnya kawasan inti yang terbentang dari sungai Nil di barat sampai sungai Amudarya (Oxus) di timur.
Sukses luar biasa dibidang militer dan politik menuntut adanya aturan-aturan kehidupan bermasyarakat. Dalam Islam pokok-pokok aturan ini pada umumnya tertuang pada aturan-aturan (hukum-hukum) yang ditetapkan oleh para ahli fikih. Maka tidak mengherankan bahwa dari berbagai segi agama Islam, bagian yang paling banyak memperoleh penggarapan yang serius, termasuk penyusunannya menjadi sistem yang integral, ialah yang berkenaan dengan hukum. Sedemikian rupa kuatnya posisi segi hukum ajaran itu, sehingga pemahaman hukum agama menjadi identik dengan pemahaman keseluruhan jalan hidup yang benar, yaitu “syari’ah” (yang makna aslinya ialah jalan). Maka kesalehanpun yang banyak dinyatakan dalam ketaatan pada ketentuan hukum ini akan banyak berurusan dengan tingkah laku manusia, dan hanya secara parsial berurusan dengan hal-hal batiniyah. Dengan kata lain, orientasi fiqih dan syri’ah lebih erat mengarah pada eksoterisisme yang lebih mendalam.
[iii] Dalam kaitan ini, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Komaruddin Hidayat bahwa ilmu fiqih cenderung menghadirkan wajah Tuhan sebagai Yang Maha Hakim, sementara manusia adalah subyek-subyek yang cenderung membangkang dan harus siap menerima vonis dari kemurkaan Tuhan Sang maha Hakim, sementara tasawuf memproyeksiakn Tuhan sebagai kekasih.[iv]
Selain dua faktor di atas, pemicu munculnya ajaran tasawuf adalah sebagai reaksi dari maraknya diskusi dan perdebatan disiplin “kalam” yang lebih mengedepankan nalar dalam memahami ajaran-ajaran agama. Dalam kaitan ini, Fazlur Rahman
[v] secara khusus menduga bahwa tasawuf muncul sebagai konsekuensi logis doktrin (konsep iman) Khawarij. Menurut golongan ini, keimanan seseorang tidak hanya cukup dengan pengakuan batin dan pernyataan lisan saja, tetapi juga meliputi perbuatan fisik. Oleh karena tindakan batin tidak dapat diukur, maka perbuatan lahirlah yang dijadikan tolok ukur utama. Dengan demikian, konsep iman Khawarij yang semacam ini memberi peluang bagi munculnya masyarakat yang lebih mementingkan perwujudan lahiriah dari pengalaman ajaran agama dan mengabaikan penghayatan ruhaniyah. Karenanya tidaklah berlebihan apabila Afifi, seorang peneliti tasawuf terkenal, menyatakan bahwa sufi adalah pemberontak sepiritual yang melakukan pemeberontakan terhadap aneka bentuk dan sistem sosial atau keagamaan.[vi]
Tasawuf mengalami perkembangan yang sangat pesat sepanjang abad ketiga dan keempat hijriah. Disiplin ini tidak lagi merupakan murni tindakan etis dengan pendalaman “pembatinan motivasi etikal” dan fenomena individual yang spontan dalam kerangka berupaya memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga disadari benar bahwa seorang berada di hadirat Tuhan seperti masa-masa awal kemunculannya. Seiring dengan berkembangnya disiplin-disiplin formal; hukum, teologi, filsafat dan lain-lainnya, maka tasawuf pun terus berkembang baik dari segi teori maupun praktis. Berbagai aturan dalam tasawuf juga dimunculkan. Tak salah bila al-Taftazani menyebutkan bahwa pada abad ketiga dan keempat hijriah, tasawuf memasuki zaman keemasannya.
[vii] Di samping muncul konsep-konsep baru dalam kesufian yang terformulasi dalam tariqat seperti “maqâmât” (stasion-stasion) atau tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang sufi dalam upaya mencapai tujuan tasawuf, “ahwâl” (keadaan-keadaan batin sufi yang bersifat psiko-gnostik), “ittihad”[viii], “fana’”[ix], “hulul” [x], “baqa’” (substansi) dan lain-lain, juga munculnya sufi ortodoks yang berupaya keras mensintesiskan antara tasawuf dan syari’at (agama). Tokoh-tokoh sufi yang muncul pada masa ini, antara lain, Abu Yazid al-Busthami (w. 260 H/874 M), Dzu al-Nun al-Mishri (w. 245 H), al-Junaidi (w. 297 H), Abu Bakar al-Syibli (w. 334 H), al-Kalabadzi (w. 385 H), al-Qusyairi (w.465 H/1075 M) dan lain-lain. Bahkan selama abad ketiga dan keempat hijriah ditandai pula dengan munculnya teosofi sufi yang mengembangkan suatu doktrin “ma’rifah” (gnosis), mengenai pengetahuan eksperimental batin yang secara progresif kemudian dipertentangkan dengan pengetahuan intelektual (al-‘ilm) teologi yang berkembang pada masa yang sama.[xi]
D. HUBUNGAN TASAWUF DENGAN SENI
Seluruh kehidupan sufi tertuju untuk dapat berkomunikasi langsung dengan Tuhan, atau dengan dunia lain yang tidak dapat dicapai dengan cara-cara biasa. Untuk mencapi tingkatan ini, disamping melakukan ibadah praktis, seorang sufi juga menempuh cara yang bersifat sepiritualitas. Ada banyak stasion yang harus dilalui oleh sufi sebelum akhirnya merasa betul-betul bertemu dengan Tuhan. Stasion yang menjadi medium sufi bertemu Tuhan adalah “al-Fanâ’ “. Fana’ ialah perenungan mendalam terhadap keagungan Tuhan, memusatkan rasa (konsentrasi) untuk hal ini dalam jangka waktu yang lama, dan mengosongkan perasaan dari semua yang ada selain Tuhan. Permenungan ini terus berlangsung hingga seorang sufi sendiri lupa bahwa ia sedang merenung. Yang ia rasakan adalah “suasana” lain yang datang secara tiba-tiba. Pengalaman sepiritual ini biasanya hanya dirasakan sufi sekejap namun memberinya berbagai pengetahuan luar biasa yang sulit dilukiskan dengan kata-kata dan tidak dapat diperoleh melalui cara-cara biasa.
[xii]
Perasaan fana’ ini dialami sufi dalam kondisi yang sadar. Banyak pengetahuan sufistik yang diperoleh seorang sufi ketika dia tengah berada dalam pengalaman sepiritual (al-Fana’) ini. Mereka merasakan bahwa segala pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman ini jauh lebih jelas dan lebih benar daripada yang mereka peroleh dalam kondisi biasa. Itu sebabnya, mereka menyeru agar menjadikan hati, bukan akal, sebagai sumber pengetahuan.
Pengalaman fana’ yang dirasakan oleh sufi ini mirip dengan pengalaman lain yang dirasakan oleh para seniman yang biasa disebut dengan “al-ilhâm”, atau disebut pula “al-hadas” yang keduanya mungkin dapat diterjemahkan dengan “inspirasi”. Para seniman (penyair khususnya) tempo dulu dan mungkin hingga sekarang meyakini benar bahwa puisi-puisi yang mereka lantunkan itu tidak semata-mata lahir atas kreasi mereka semata, tetapi merupakan ilham yang diberikan kepadanya. Homerus dan Elliade, keduanya penyair Yunani klasik, meyakini jika puisi-puuisi mereka adalah ilham langsung dari dewa puisi. Sementara para penayair Arab pra Islam (penyair jahiliah) meyakini benar bahwa puisi-puisi (syair) mereka merupakan ilham langsung dari syetan yang mereka dewakan. Para penyair jahiliah, meyakini bahwa setiap penyair di dampingi syetan pemberi ilham kepadanya.
[xiii]
Meskipun dengan sudut pandang dan keyakinan berbeda, para seniman modern juga banyak yang meyakini adanya ilham tersebut. Pengalaman batin yang disebut ilham ini sekarang telah secara luas dikaji dan menjadi obyek ilmiah para ahli psikologi modern.
Jadi, baik al-fana’ maupun al-ilham, keduanya merupakan pengalaman batin yang muncul diluar kehendak yang mengalaminya. Fana’ merupakan pemeberian Tuhan terhadap siapa saja yang dikehendaki-Nya meskipun pengalaman ini seringkali diperoleh dengan terlebih dahulu melakukan kerja keras yang bersifat sepiritual. Begitu pula dengan ilham, ia sering hadir dengan tidak terduga dan secara tiba-tiba meskipun seringkali didahului pula dengan tindakan-tindakan tertentu yang sepiritualistik dan imajinatif.
Adanya kesamaan di atas barangkali yang menjadikan antara tasawuf dan seni memiliki hubungan yang sangat erat. Kekaguman para sufi terhadap “keindahan”, misalnya, tidak kalah dengan yang dirasakan oleh para seniman. Mereka adalah komunitas Islam yang paling mencintai seni dan keindahan. Bedanya, para sufi menjadikan semua obyek penglihatan mereka sebagai medium beribadah kepada Tuhan, tidak semata-mata obyek kenikmatan. Hasan al-Bashri, misalnya, mengatakan bahwa:”memandang wajah yang bagus adalah ibadah”, maksudnya adalah apabila seseorang memandang wajah yang bagus (ganteng), maka akan sadar dan mengatakan”betapa hebatnya sang pencipta wajah tersebut”. Bahkan para sufi menjadikan keindahan yang bersifat konkrit sebagai medium atau jembatan untuk meraih keindahan yang mutlak seperti yang terukir dalam ucapan al-Junaid:
"para perempuan, di samping menjadi alat penggoda syetan, mereka juga dapat menjadi tali menggapai “irfan” (ma’rifat kepada Allah), sebab, orang yang memiliki kesadaran dapat menjadikan rasa rindu terhadap mereka sebagai medium untuk merindu kepada Tuhan yang mencipta mereka. Karena sebuah premis yang benar akan menghasilkan kesimpulan yang benar pula.Barang siapa yang mau memperhatikan ciptaan Tuhan yang tidak abadi ini, pada akhirnya ia akan sampai pada Zat yang abadi lagi Maha pencipta. Gambaran tersebut persis seperti perkataan para sufi yang menyatakan hawa sifat “riya’” (pamer) adalah jembatan menuju keikhlasan”.
[xiv]

Disamping menjadikan obyek yang bersifat visualistik sebagai sebuah seni yang indah, para sufi juga menjadikan obyek yang mereka dengar juga sebagai medium untuk dapat berkomunikasi dengan Tuhan dan menganggapnya pula sebagai hal yang indah. Bahkan “mendengar” (al-simâ’) mereka jadikan rukun kedua dari sepuluh rukun tasawuf.
[xv] Bagi para sufi, mendengar adalah sebuah aktifitas yang serius dan memerlukan latihan secara terus menerus hingga dapat benar-benar memiliki dampak psikologis dan menghantarkan mereka ke alam sepiritual yang luar biasa, serta dapat menangkap berbagai makna yang jauh lebih dalam dari obyek yang mereka dengarkan. Itu sebabnya, para sufi sering membuat sebuah forum khusus untuk mendengarkan berbagai lantunan puisi dan musik yang juga khusus untuk kalangan mereka sendiri. Mereka tidak saja melarang keterlibatan orang lain diluar kelompok sufi, tetapi bahkan melarang kelompok mereka sendiri terlibat di dalamnya jika memang mereka belum dianggap layak dan memenuhi berbagai persyaratan tingkatan kesufian yang mereka tetapkan.
Aktifitas mendengar (musik, puisi dan lain sebagainya) yang dilakukan para sufi dimaksudkan sebagai cara mereka untuk mencapai suatu situasi dan kondisi psikologis tertentu yang mereka sebut dengan “al-wajd - الوجد “ . Al- wajd, menurut Dzun Nun al-Mishri, adalah munculnya sebuah kebenaran yang menggugah hati menuju kepada Yang Benar (al-Haq), dan barang siapa yang memperhatikannya dengan cara yang benar, maka ia akan memperoleh kebenaran, dan barang siapa memperhatikannya dengan dasar hawa nafsunya, maka ia akan menjadi zindiq (ingkar kepada Yang Benar).
[xvi] Sementara Abu said bin al-A’rabi mengatakan bahwa”al-wajd” adalah :“terbukanya hijab (penghalang), menyaksikan Yang Maha memantau, munculnya sebuah kefahaman, menangkap sinyal Yang Gaib, berbincang-bincang dengan Yang tak Terlihat, dan bercumbu dengan Yang tak Terraba. Al-wajd adalah kefana’an dirimu.[xvii]
Jadi, al-wajd adalah kondisi psikologis yang disebabkan oleh aktifitas mendengar sesuatu yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang sehingga membuatnya dalam kondisi setengah sadar. Dalam kondisi al-wajd ini, seorang sufi seringkali memunculkan berbagai gerakan dan ucapan-ucapan yang tanpa ia sadari dan tak terkendali. Berbagai gerakan yang muncul dalam kondisi al-wajd ini seringkali juga mirip dengan sebuah adegan tarian. Oleh karena itulah, banyak masyarakat umum yang mencela para sufi dikarenakan mereka melakukan berbagai adegan tarian semacam ini.
Tetapi perlu diketahui bahwa gerakan-gerakan sufi yang sering mirip dengan sebuah adegan tarian bukanlah sebuah tarian biasa yang membawa efek negatif. Sebab, seluruh gerakan yang mereka lakukan itu diluar kesadaran mereka sebagai efek dari lantunan nada, musik dan puisi-puisi yang mereka degarkan. Gerakan-gerakan tersebut lebih merupakan sebagai tindakan sepontan dan reflektif akibat pengaruh lantunan nada atau puisi yang benar-benar mereka jiwai sepenuhnya. Yahya bin Mu’az pernah ditanya tentang tarian sufi ini, lalu ia menjawab:
[xviii]
دقّقنـا الأرض بالـــرّ فص على غيب معانيكا
ولا عيب على رقـــص لعبـد هائـم فيــكا
وهذا دقُّنــا لـــلأر ض إذ طفـنا بواديـكا

*Ku hentak bumi dengan tarian untuk menangkap rahasia makna-makna-Mu
*Tarian seorang yang sedang merindu-Mu tak pantas mendapat cacian.
*Inilah hentakan-hentakanku tatkala aku mengelililingi lembah-Mu.

Jadi, kehidupan para sufi sangat erat dan lekat dengan seni, atau dengan kata lain, antara tasawuf dengan seni memiliki hubungan yang sangat erat dan kuat. Adapun jenis seni yang terkait dengan kehidupan sufi adalah: seni tari, musik dan puisi yang semuanya semata-mata merupakan medium untuk dapat berkomunikasi lebih erat dengan Yang Maha Seni dan Maha Indah.

E. PROSES KREATIFITAS SASTRA SUFI
Seperti telah disebutkan di atas bahwa seluruh kehidupan para sufi ditujukan untuk menggapai Yang Maha Mutlak. Mereka mengerahkan seluruh potensi sepiritualitasnya tanpa mengenal lelah dan bahkan, menurut pandangan kaum formalis, cenderung dianggap penyiksaana diri dalam upaya manggapai cita-cita mereka. Mereka menciptakan sistem yang dengan penuh disiplin mereka taati. Sistem ini biasa disebut dengan “tharîqah” yang secara harfiah berarti jalan atau cara, yaitu jalan menuju ke hadirat Yang Maha Indah dan Maha Mutlak. Dalam perjalanan jauh ini mereka harus melalui berbagai stasion (al-hâlât) yang memerlukan waktu cukup lama pada setiap stasionnya.
Al-fana’, seperti telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, adalah salah satu stasion terpenting setelah stasion al-mahabbah yang dilalui sufi sebelum akhirnya mereka sampai pada stasion terkahir yaitu al-ittihad (menyatu dengan Tuhan). Al-fana’ yang tengah dialami oleh sufi ini acapkali disertai dengan al-wajd, yang sering ditandai dengan berbagai tindakan spontan seperti menari, melantunkan bait-bait puisi, bermusik dan lain sebagainya diluar kontrol diri mereka.
Dengan demikian, seni sufi, baik puisi, menari dan bermusik, tercipta dan lahir tidak melalui proses tertentu yang dengan sengaja dan penuh kesadaran sengaja mereka ciptakan. Tetapi lebih merupakan refleksi dan expresi terdalam dari kondisi psikologis para sufi yang tengah merasakan dan mengalami trance atau extase pada stasion tertentu, khususnya al-fana’. Namun demikian, bukan berarti sastra sufi ini hanya dapat lahir atau muncul dalam stasion tersebut, karena sesungguhnya pada setiap setasion yang dilalui para sufi, mereka juga merasakan pengalaman sepiritual yang juga diluar kontrol diri mereka yang sering diekspresikan dengan bait-bait puisi atau yang lain yang bersifat spontan dan reflektif. Itu sebabnya, bagi komunitas non sufi, muatan puisi mereka seringkali dianggap sarat dengan pesan-pesan yang melanggar norma-norma syariat, penuh misteri dan lain sebagainya.

Jadi, seni sastra sufi bukan merupakan simbol dan puncak tertinggi dari perjalanan sepiritual mereka, sebaliknya seni sastra mereka adalah menandai keberhasilan perjalanan mereka pada salah satu stasion dari beberapa stasion yang harus mereka tempuh. Dengan kata lain, seni sastra sufi tercipta saat mereka masih berada pada suatu tahapan awal dari seluruh tahapan yang panjang dalam mengarungi samudra sepiritual sebelum akhirnya mereka berlabuh pada sebuah dermaga yang indah tempat memadu kasih dan bercengkerama di dalamnya, itulah Sang Maha Indah dan Maha Seni.
F. SASTRA SUFI : Adakah kriteria khusus?
Hingga kini belum jelas benar apa yang dimaksud dengan sastra sufi. Apakah ia hanya membatasi diri pada sastra yang diciptakan oleh para praktisi tasawuf, ataukah di dalamnya juga tercakup semua sastra yang mengindikasikan hubungan transendental meskipun dicipta oleh bukan seorang sufi, atau apakah sesungguhnya yang dimaksud dengan sastra sufi itu?
Secara tidak langsung, pengertian sastra sufi sebenarnya dapat ditarik secara konseptual dari penjelasan di atas yang sedikit mengurai proses kreatifitas seni sastra tersebut dengan kesimpulan bahwa seni sastra sufi adalah seni sastra yang lahir dari para sufi yang didahului oleh proses ritual-sepiritual yang cukup panjang. Dengan demikian, jelaslah bahwa seni sastra sufi adalah membatasi diri pada seni yang memang benar-benar lahir dari mereka yang menjalani kehidupan tasawuf.
Sebelum mengurai secara rinci kriteria sastra sufi yang menjadi ciri pembeda dengan seni sastra lain, perlu dikemukakan di sini dua genre sastra Arab yang sering secara keliru dikategorikan sebagai sastra sufi, yaitu:”puisi religius” (al-syi’r al-tadayyun atau al-syi’r al-dînî) dan “puisi zuhud” (al-syi’ru al-zuhdiyyu). Genre puisi pertama (religius) muncul dan berkembang pada paruh kedua abad pertama hijriyah.
Puisi jenis ini tidak diciptakan atau dikembangkan oleh komunitas tertentu dalam strata sosial yang jelas, tetapi lebih merupakan sebuah refleksi ketidak puasan kaum agamis yang menyaksikan kehidupan para penguasa dan masyarakat sudah sangat berorientasi keduniaan pada masa pemerintahan Umayyah. Secara garis besar puisi-puisi religius tersebut memiliki dua tujuan yang sekaligus menjadi tema utamanya, pertama untuk menyampaikan pesan dan penyadaran pada banyak orang, terutama tentang akan tibanya kematian, dan kedua menjelaskan hikmah beragama, dimana pada umumnya ajakan untuk merenungkan kehidupan dunia dan tanggung jawabnya kelak di akhirat. Contoh jenis tema pertama tersebut seperti puisi Abu al-Aswad al-Du’ali berikut ini yang mengambarkan zaman yang rusak:
[xix]
ذهب الرجال المقتدَى بفعالهم والمنكرون لكل أمر منكـر
وبقيتُ فى خلَف يزبِّن بعضهم بعضا ليدفعَ مُعوِرٌ عن مُعورِ
سلكوا بُنيّاتُ الطريق فأصبحوا مُتنكّبين عن الطريق الأكبر

*Orang-orang baik yang menjadi panutan dan orang-orang jahat berjalan seiring. *Dari belakang aku menyaksikan satu sama lain saling menopang kejahatan.
*Mereka menyusuri lorong-lorong sempit menjauhi jalan yang lebis luas.

Pernah suatu kali Sabiq al-Barbari bertamu kepada Umar bin Abdul Aziz, lalu Umar memintanya agar melantunkan bait puisi yang berisi pesan keagamaan, sepontan Sabiq melantunkan dua bait puisi yang membuat Umar pingsan setelah mendengarnya:
[xx]
إذا لم ترحـل بزادٍ من التُّـقَى ووافيت بعد المــوت مَن قد تزوّدا
ندمتَ على أن لا تكون شَركتَه وأرصدتَ قبل الموت ما كان أرصدا

*Jika kau tak membekali diri dengan taqwa, lalu setelah mati kau bertemu orang
membekali diri dengannya.
*Pastilah kau menyesal lantaran tak melakukan dan bersiap diri seperti dia.
. Sedangkan jenis tema kedua di atas seperti tersirat dalam puisi Abu Aswad al-Du’ali berikut ini:
[xxi]
أيها الآمل ما ليـس لــه ربما غرَّ سفيهاً أملُــهُ
ربّ من بات يمُـنّي نفسـه حالَ من دون مُناه أجلُه
والفتى المحتال فيما نابـــه ربما ضاقت عليه حِيَلُه
قل لمن مثّل فى أشعـــاره يهلكُ المرءُ ويبقي مَثَله
نافِسْ المحسن فى احسانــه فسيكفيك سناءً عمله
*Wahai penghayal angan-angan kosong, karena ketololannya ia terpedaya haya-
lanyya.
*Tak jarang penghayal tentang kesuksesan dirinya, namun maut terlebih dulu
men-jemputnya.
*Pemuda yang penuh ambisi, sering terpedaya tipu dayanya sendiri.
*Katakan pada para pelantun puisi tamsili, hanya puisi mereka yang tersisa semen-
tara mereka binasa.
*Saingilah kebaikan orang yang baik, cukup bagimu kebaikannya sebagai panutan.

Sementara puisi genre kedua (puisi zuhud) muncul dan berkembang mulai awal abad kedua hijriah. Berbeda dengan genre puisi religi di atas yang muatan temanya sebatas pesan-pesan keagamaan, puisi genre kedua ini bersifat lebih ekstrim lagi dalam melihat dunia dan kehidupannya. Tema-temanya secara lugas berisi anjuran untuk mengabaikan kehidupan dunia secara total kecuali secukupnya saja, dan lebih mengutamakan persiapan kehidupan akherat. Puisi ini memiliki komunitas yang jelas yang umumnya diciptakan oleh para pelaku hidup zuhud (ascetism) baik dari kalangan ahli fikih, ahli hadits. Disamping mereka, puisi ini juga diciptakan oleh mereka yang disebut dengan “orang-orang gila berakal” (‘uqalâu al-majânîn,), yakni mereka yang ketaatan dan ibadahnya kepada Allah sangat berlebihan hingga seperti orang gila. Tokoh dari komunitas ini kebanyakan dari kaum perempuan semisal Sya’wanah, Maimunah al-sauda’, Rihanah. Juga kaum zuhud mantan para pemabuk dan pelanggar hukum agama yang kemudian bertaubat (al-tâibûn min majjâni al-syu’arâ’). Diantara kelompok ini ialah Adam bin Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz yang sebelum taubatnya ia pernah melantunkan puisi Arak sebagai berikut:
[xxii]
اسقــني يا معــــاوية سبـعة أو ثمانيـة
اسقنيــــها و غنّــني قبل أخذ الـزبانيبة
اسقنيــــها مُدامـــةً مُـزّة الطعم صافية

*Mu’awiyah, berilah aku tujuh atau delapan gelas arak.
*Ayo terus tuangkan arak dan bernyanyilah untukku sebelum api Zabaniyah
me-mbakarku.
*Ayo terus tuangkan arak yang jernih dan penuh aneka rasa untukku.


Namun setelah bertaubat ketika ia ditanya tentang arak, ia berpuisi:
[xxiii]

ألا هل فتىً عن شُربـها اليوم صاَبرٌ ليجـزيَه يوماً بذلـك قــــادرُ
شربتُ فلــمّا قيل ليس بــنازِعٍ نـزعتُ وثوبـي من أذى اللوم طاهرُ

*Ingat wahai anak muda, masih pantaskah hari ini aku menenggaknya.
Yang Maha Kuasa kelak akan membalasnya.
*Dulu aku pemabok yang tak seorangpun merintangiku. Kini semua simbol
kejahatan aku tinggalkan tuk menjadi orang suci.

Tokoh lain yang sangat terkenal adalah Abu Nuwas yang dimasa mudanya dikenal sangat akrab dengan kehidupan yang bersifat hura-hura, pemabok namun sekaligus sebagai seorang penyair ulung. Abu Nuwas tidak saja melakukan perbuatan maksiatnya dengan terus terang, tetapi bahkan terkadang disertai dengan ejekan terhadap para kaum agamawan dan bahkan nabi seperti yang tergambar dalam puisinya berikut ini:
[xxiv]
يا أحمدُ المُرتَجَي فىكل نائبة قم ياسيدي نَعصِ جبّارَ السّموات
*Wahai Ahmad (Nabi) yang menjadi tumpuan setiap derita. Bangkitlah tuan
bersa-ma kami menentang Tuhan pencipta langit yang nan perkasa.

Namun setelah berusia lanjut, Abu Nuwas bertaubat dan menempuh hidup zuhud. Banyak puisi-puisinya pada masa tuanya yang melukiskan pertaubatan dan kezuhudannya diantranya ialah seperti berikut ini:
[xxv]
أيا مَـن بين باطــيةٍ وزِقٍّ وعُودٍ فى يدَيْ غانٍ مُـغـنّي
إذا لم تنـه نفسكَ عن هواها وتُحسِنَ صونها فـإليك عنّـي
فإنـي قد شبعتُ من المعاصي ومن إدمانها وشبعـن منّــي
ومَن أسوأ وأقبح من لبيــب يُرى مُتطرِّبا فى مثـل سِنّـي

*Wahai penenggak arak bati dan ziqqi dengan iringan gitar penyanyi.
*Jika kau tak mampu menjauhkan dirimu darinya. Maka enyahlah dari sisiku.
*Aku telah kenyang dengan segala kemaksiatan. Yang tiada henti aku lakukan.
*Adakah orang yang lebih buruk dan jahat. Daripada orang pintar seusiaku ini
yang tampak masih menari-nari.

Perlu dicatat di sini bahwa baik puisi religius maupun puisi zuhud, di samping ditentukan oleh tema-temanya, ciri lainnya adalah bahwa keduanya sama-sama menggunakan ekspresi bahasa yang lugas dan mudah dicerna atau dipahami sehingga tidak memerlukan penafsiran, pentakwilan atau usaha lain yang cukup menghabiskan energi.
Jika memang puisi religi dan puisi zuhud berkarkater demikian, lalu bagaimana dengan puisi tasawuf? Adakah ciri umum atau ciri khusus yang melekat pada puisi sufi sebagai genre puisi tersendiri? Itulah pertanyaan mendasar yang harus dicari jawabannya dan yang sekaligus inti dari tulisan awal ini.
Secara umum para peneliti sastra sufi memberi kesimpulan beberapa hal yang mungkin dapat disebut sebagai karakter khusus sastra sufi. Terutama dilihat dari aspek tema dan makna yang terkandung di dalam puisi-puisi mereka, bukan dilihat dari aspek lahir yang menekankan pada kesesuaiannya dengan kaidah-kaidah puisi arab yang dalam hal ini adalah “’arudh”. Adapun ciri umum sastra sufi adalah sebagai berikut: Pertama; bertemakan tentang cinta ilahi “al-hubb al-ilahiyyi” yang di dalamnya tercakup juga perasaan “al-ittihad, al-hulul” dan lain sebagainya. Kedua, sastra sufi sering diungkapkan dengan bahasa yang absurd (al-ghumud, ambiguiti), banyak menggunakan simbol.
Khusus terkait dengan bahasa yang digunakan oleh para sufi ini, Ali Zaiur mengatakan sebagai berikut:
[xxvi]
“bahasa sufi adalah bahasa yang tidak populer, membingungkan, sering bertabrakan dengan pemahaman yang umum berlaku ditengah masyarakat. Bukan saja berbagai peristilahannya yang baru, tetapi bahkan kata-kata yang dugunakannya memiliki fungsi yang beragam dan makna-makna yang baru. Kata-kata biasa, oleh sufi diberi “ruh” dan makna yang baru. Hal ini disebabkan oleh karena bahasa (kata-kata) tersebut mengekspresikan sebuah pengalaman (sepiritual) yang bersifat idividual dan esoterik dalam memandang dunia dan semesta ini…”

Hal senada juga dikatakan oleh Abdul karim al-khatib. Menurtnya, ciri umum atau karakter sastra sufi adalah dari segi internalnya yang cenderung menggunakan bahasa yang serba abstrak dan absurd. Kata-kata sufi tidak dapat dimaknai secara harfiah. Bagi mereka, kata-kata hanyalah sebuah bayang-bayang, bukan esensi. Karenanya mereka tidak mau terikat dengannya. Disamping itu, para sufi memiliki cara pandangnya tersendiri dalama segala hal. Apa yang menurut ukuran orang lain(di luar kelompok mereka) bagus dan dan indah dimata sufi bisa bernilai sebaliknya, buruk dan tidak indah.
[xxvii]
Paling tidak ada dua alasan mendasar mengapa para sufi sering menggunakan bahasa simbol, abstrak dan absurd seperti dikemukakan oleh Abdul Hakim Hassan, pertama; karena pada umumnya para sufi memiliki karakter yang secara lahiri dianggap menyimpang dari norma agama (hukum legal formal agama). Oleh sebab itu, mereka sengaja tidak menyampaikan pesan-pesan mereka dengan bahasa yang lugas untuk menghindar dari otoritas para fuqaha’ yang selalu mencari cari kesalahan mereka dan berupaya menggiring mereka ke meja pengadilan yang sering berkahir dengan penjatuhan hukuman mati atas para sufi. Kedua, bahasa yang lazim dipakai seacara umum tidak cukup representatif untuk menyampaikan makna-makna (pengalaman batin) yang mereka rasakan. Sebab pengalaman mereka pada umumnya didapat melalui “rasa” (al-zauq) daripada melalui akal.
[xxviii]
Sedang al-Qusyairi memberi alasan penggunaan bahasa simbol oleh sufi sebagai berikut:
[xxix]
”setiap kelompok cendekiawan memiliki ungkapan-ungkapan khusus yang menjadi ciri khas mereka dan saling mereka pahami untuk menyampaikan pesan-pesan mereka, sekaligus mempermudah para audience menangkap makna yang mereka sampaikan. Komunitas ini (para sufi) juga menggunakan bahasa (ungkapan) yang saling dapat dimengerti dalam lingkungan komunitas mereka. Dengan bahasa khusus itu, mereka ingin menyampaikan pesan untuk kalangan mereka sendiri, dan menyembunyikannya bagi komunitas lain di luar mererka. Hal ini bertujuan agar makna dari kata-kata mereka sulit dipahami orang lain, sekaligus sebagai upaya melindungi rahasia mereka agar tidak tersebar diluar mereka. Sebab, kebenaran-kebenaran yang mereka peroleh bukan sekumpulan dari ajaran agama seperti yang menjadi anjuran itu, atau bukan berasal dari upaya rekayasa, tetapi merupakan rahasia-rahasia Tuhan yang dititipkan (dimasukkan) ke dalam hati mereka, dan hanya dapat ditangkap oleh kelompok rahasia juga”.


Mengingat ruang pembahasan yang tersedia sangat terbatas, pembicaraan tentang karakter dan ciri sastra sufi yang lebih luas lagi di luar tulisan ini perlu dikembangkan. Namun sebelum mengakhiri tulisan ini, simaklah kutipan puisi sufi sebagai berikut yang dilantunkan oleh Ibnu Arabi.:
توضأ بماء الغيب إن كنت ذا سـرٍّ وإلا تيـــمّم بالصعيد وبالصـخر !
وقدّم إماما كنت أنت إمامـــه وصلّ صلاة الفــجر فى أول العصر
فهذى صلاة العارفين بربـــهم فإن كنت منهم فانضح البَـرّ بالبحر

*Jika memang engkau dapat menangkap rahasia Tuhan, berwudu’lah dengan air
Rahasia (gaib) itu. Jika tidak, bertayamumlah dengan debu dan batu!
* Jadilah imam jika engkau memang pantas untuknya. Lakukan shalat subuh di
awal waktu ashar!
* Itulah shalat mereka yang ma’rifat Tuhan. Jika engkau termasuk dari mereka
maka cucilah bumi ini dengan lautan!

Komunitas diluar sufi tentu akan menganggap bahwa penyair yang melantunkan bait-bait puisi-puisi tersebut sebagai orang kurang waras atau pengigau. Betapa tidak, bagaimana mungkin ia menyuruh berwudu dengan “air gaib”, atau melakukan shalat subuh di awal waktu shalat ashar, juga menyuruh mencuci seluruh bumi ini dengan air lautan. Akan tetapi bagi kalangan sufi, pernyataan-pernyataan semacam ini sangat mudah dipahami dan justeru dianggap sebagai pemicu yang mengandung daya gerak luar biasa untuk memacu lebih intens lagi kesufian mereka dalam upaya menggapai ma’rifah dan mahabbah kepada Tuhan. Sementara bagi komunitas non sufi, perlu bekerja keras untuk dapat memahami puisi-puisi tersebut yang tentu saja dengan menggunakan pendekatan sufistik juga, bukan pendekatan yang bersifat teologis, fikih atau pendekatan normatif lainnya. Terlebih lagi, apabila puisi sufi yang jika dipahami secara harfiah bertentangan dengan keyakinan (akidah) banyak orang, maka dalam memahaminya diperlukan berbagai perangkat baik yang terkait dengan konteks dilantunkannya puisi tersebut dalam perspektif kesufian maupun yang terkait dengan pendekatan aspek gramatika dan sebagainya seperti sebuah bait puisi Ibnu Arabi berikut ini:

مقـام النـبوّة فـى برزخ دُوَين الوليّ وفـوق الرسول
Puisi tersebut dapat diterjemahkan paling tidak dua persi. Pertama dengan membaca fathah huruf “nun” dan “qaf” pada kata “duwaina dan fauqa” dimana keduanya dalam posisi seabagai “mudhaf” dalam struktur kalimat, sedang kata “al-Wali dan al-Rasuli” keduanya sebagai mudhaf ilaihi. Jika demikian maka terjemah puisi tersebut adalaha sebagai berikut:
*Posisi “nubuwwah” (kenabian) tatkala di barzah, di bawah wali dan di atas rasul.
Jadi, nubuwwah (kenabian), menurut bunyi harfiah puisi tersebut berada pada posisi tengah, di bawah wali dan di atas rasul. Posisi wali, nabi dan rasul dalam puisi tersebut dapat diurutkan sebagai berikut: Wali, Nabi dan Rasul. Jadi wali adalah memiliki posisi atau martabat yang paling tinggi diatas rasul dan nabi.
Tentu pemahaman seperti ini akan melahirkan reaksi yang sangat keras baik dari kalangan teolog, para ahli hadits maupun ahli fikih yang anti sufi. Karena dianggap melecehkan nabi dan rasul dengan memposisikan mereka di bawah martabat para sufi. Padahal puisi tersebut juga dapat dipahami tidak demikian jika, misalnya, dalam memahaminya kita juga meminjam ilmu nahwu yang sedikit lebih longgar, misalnya saja huruf “nun” dan “qaf” pada kata “duwaina dan fauqa” tidak kita baca fathah (mansub)seperti di atas, melainkan keduanya kita baca “dhammah” dengan memposisikan keduanya sebagai “khabar” bagi kata benda (isim) setelahnya yang juga berharakat dhmmmah. Jadi kita baca:”duwainu al-waliyyu, wa fauqu al-rasulu” . Sebab pembacaan yang demikian ini juga lazim terjadi dalam struktur bahasa arab. Jika demikian, maka terjemahan puisi di atas adalaha sebagai berikut:
*Posisi nabi di barzah, wali ada di bawahnya dan rasul di atasnya.
Dengan demikian, urutannya adalah sebagai berikut: rasul, nabi dan wali. Jadi, rasul berada pada posisi tertinggi, menyusul nabi dan baru wali. Jika versi yang kedua ini yang kita pahami, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menuduh para sufi telah merusak akidah atau menganggap diri mereka lebih hebat daripada nabi dan rasul. Hal-hal semacam inilah dan lainnya barangkali yang oleh sementara kalangan di luar komunitas sufi sering dijadikan alat justifikasi atau dijadikan rumusan analisis-teoretis bahwa salah satu karakter sastra sufi adalah absurd, ambiguiti dan penuh dengan teka-teki.

G. KESIMPULAN.
Sebagai penutup tulisan ini dapatlah kiranya penulis memberi kesimpulan sebagai inti dari keseluruhan pembahasan di atas. Pertama, tasawuf tidak lahir dari sebuah ruang dan waktu yang kosong. Ia lahir karena didorong oleh berbagai faktor sosial, politik dan fenomena religius tertentu. Kedua, sastra sufi adalah merupakan genre tersendiri dari seluruh genre sastra arab yang pernah ada. Sastra sufi, dengan segala ekspresinya, memiliki karakter dan kriteria tersendiri seperti telah diuraikan di atas, sebab ia juga muncul dari dan oleh komunitas yang memiliki karakternya sendiri dan dalam ruang dan waktu yang sangat istimewa pula. Ketiga, tulisan ini baru merupakan langkah awal atau rintisan yang tentu masih banyak kekurangan dan memerlukan kritik dan perluasan dari berbagai aspeknya sehingga kita dapat menemukan gambaran seutuhnya sastra sufi, baik secara metodologi maupun materi-materi lain yang menjadi obyek kajian yang konprehensif. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Jagalan, 7 April 2002

[i]Lihat Abdul Karim, al-Adab al-Sufi Fi Mafhumin Jadidin dalam Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Tsaqafah al-Arabiyyah , 1965), p. 20
[ii] Nurcholis Madjid, Islam: Doktrin dan Perdaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), cet. II, p.254.
[iii] Nurcholis Madjid, Ibid., pp. 255-256.
[iv] Komaruddin Hidayat, Manusia dan Proses Penyempurnaan Diri, dalam Budi Munawar Rahman (ed.), Kontekstulisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), p. 188
[v] Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984), p. 185.
[vi] A.E. Afifi, Penafsiran Islam secara rasional dan mistik, dalam Kenneth W. Morgan, Islam Jalan Lurus, terj. Abu Salamah dan Kahaidir Anwar, (Jakarta: Pustaka jaya, 1986), p. 191.
[vii] Lihat, Abu al-Wafa al-Ghunaimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi’ Usman, (Bandung: Pustaka, 1985), p. 92.
[viii] Ittihad adalah suatu tingkatan dalam tasawuf yangmenggambarkan seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan. Pada tingkatan ini yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu. Paham ini telah dikembangkan oleh Abu Yazid al-Busthami. Lihat, Abdul Qadir Mahmud, al-Falsafah al-Sufiah fi al-Islam, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1966), Cet. I, pp. 309-324. Lihat pula, Harun Nasution, Falsafat dan Mistitisme dalam Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1985), p.82.
[ix] Fana’ ialah penghancuran perasaan atau kesadaran seseorang tentang dirinyadan tentang makhluk lain di sekitarnya. Dengan penghancuran tersebut, yang tinggal hanyalah pengetahuan, taqwa dan kelakuan baik. Tingkatan ini di bawah tingkatan ittihad. Paham ini juga dikenalkan oleh Abu Yazid. Lihat, Harun, Ibid., p.80.
[x] Hulul ialah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat yang ada di tubuh itu dilenyapkan. Paham ini dikenalkan oleh Husain bin Manshur al-Hallaj. Lihat, Ibid., p.87.
[xi] Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1984), p.203.
[xii] Lihat, Abdul hakim Hassan, al-Tasawut Fi al-Syi’r al-Arabi, (Mesir: Maktabah al-Anjlu al-Mishriyyah, 1954), pp.67-69.
[xiii] Ibid., p. 71.
[xiv] Ibid., p. 73.
[xv] Ibid., p. 80
[xvi] Ibid., p.82
[xvii] Ibid., p.83
[xviii] Ibid.
[xix] Ibid., p.150
[xx] Ibid., p.155.
[xxi] Ibid., p.159
[xxii] Ibid., p. 189
[xxiii] Ibid., p.190
[xxiv] Ibid., p. 192
[xxv] Ibid., p.193
[xxvi] Lihat, Ali Zai’ur, al-Karamah al-Shufiah wa al-Usthurah wa al-Hulum, (Beirut: Dar al-Andalus, 1984), cet. 2, p. 46
[xxvii] Lihat, Abdul Karim al-Khatib, al-Adab al-Shufi Fi Mafhumin jadidin, dalam Silsilah al-Tsaqafah al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Tsaqafah al-Arabiyah al-Mishriyah), p. 48.
[xxviii] Abdul Hakim Hasdsan, al-Tasawuf Fi al-Syi’r al-Arabi, pp. 87-88.
[xxix] Lihat, Muhammad Musthafa Hilmi, Ibnu al-Faridh wa al- Hubb al-Ilahiyyi, (Mesir: Dar al-Ma’arif bi Mishr, tt.,) p.146.

No comments: